Jumat, 07 Februari 2014

Menjabat Tangan dan Melihat Wajah Perempuan

Fatwa oleh : Prof. Dr. Ali Gomah
Pertanyaan: Apa hukum berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan? Apakah membatalkan wudhu? Apa hukum melihat wajah perempuan?

Jawaban: Menjabat tangan perempuan yang bukan mahram oleh seorang lelaki merupakan masalah khilafiyah dalam hukum fikih. Mayoritas ulama mengharamkannya. Namun, mazhab Hanafiyyah dan Hanabilah memperbolehkan menjabat tangan wanita lanjut usia, yang sudah tidak membangkitkan syahwat, karena aman dari fitnah (godaan atau ketertarikan- pen.).
Diantara dalil mayoritas ulama yang mengharamkan adalah perkataan Sayyidah Aisyah ra., “Tak sekalipun Rasulullah Saw. menyentuh telapak tangan perempuan.” (Muttafaq ‘alaih). Dan hadis Ma’qil bin Yasar ra., bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda, “Sungguh jika kepala seorang di antara kalian ditusuk jarum, itu lebih baik daripada menyentuh tangan perempuan yang tidak halal baginya.” Hadis ini diriwayatkan oleh Ar-Ruyani dalam musnadnya dan oleh At-Thabrany dalam Al-Mu’jam Al-Kabir.
Di sisi lain, ada sekelompok ulama membolehkan hal tersebut, berdasarkan riwayat yang menyatakan bahwa Umar bin Khattab ra. pernah menjabat tangan perempuan, walaupun Nabi Saw. tidak berkenan menjabat tangan mereka saat berbai’at (sumpah setia). Sehingga keengganan Nabi berjabat tangan dianggap sebagai khasaish (keistimewaan atau kekhususan yang hanya berlaku untuk Nabi-pen). Abu Bakar As-Shiddiq ra. juga pernah menjabat tangan wanita tua di masa pemerintahannya.
Demikian juga, hal itu berdasarkan riwayat yang disebutkan oleh imam Bukhari, bahwa Rasulullah Saw. menyuruh Ummu Haram ra. untuk membersihkan kutu di kepala beliau Saw. Serta berdasarkan riwayat Bukhari, bahwa Abu Musa Al-Asy’ari ra. menyuruh seorang perempuan keturunan Asy’ari membersihkan kutu di kepala beliau, padahal beliau sedang ihram haji.
Mereka menjawab dalil yang dijadikan landasan oleh mayoritas ulama bahwa hadis Ma’qil bin Yasar adalah hadis dhaif (lemah), karena dhaifnya perawi hadis tersebut, yaitu Syaddad bin Sa’id. Dia adalah satu-satunya perawi yang meriwayatkan hadis tersebut dengan redaksi demikian, secara marfu’. Orang seperti Syaddad bisa diterima riwayatnya seandainya tidak ada riwayat yang menyelisihinya. Namun hadis riwayat Ma’qil tersebut bertentangan dengan hadis Basyir bin Aqabah, seorang perawi yang tsiqah (terpercaya) dan termasuk perawi shahihain (Bukhari dan Muslim). Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan dalam Al-Mushannaf melalui Basyir bin Aqabah, dari Abu Al-Alla’, dari Ma’qil bin Yasar – secara mauquf – dengan redaksi, Seandainya seorang di antara kalian mengambil jarum dan menusukkannya di kepalaku, itu lebih baik bagiku daripada kepalaku dibasuh oleh seorang perempuan yang tak ada hubungan mahram denganku.”
Oleh karena itu, bagi seorang yang diuji dengan hal tersebut (berada di lingkungan yang berbudaya bebas misalnya-pen), boleh mengikuti ulama yang membolehkannya. Karena keluar dari khilafiyah hukumnya sunah.
Sementara itu mengenai batalnya wudhu akibat menjabat tangan perempuan yang bukan mahram, juga merupakan masalah khilafiyah dalam hukum fikih. Imam Syafii berpendapat, hal itu bisa membatalkan wudhu, meski tanpa syahwat. Namun Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa menyentuh perempuan tidak membatalkan, walaupun dengan syahwat. Imam Malik memberikan perincian terkait hal itu. Beliau berpendapat bahwa menyentuh dapat membatalkan wudhu jika dengan syahwat, dan tidak membatalkan jika tanpa syahwat. Terkait hal ini, ada sejumlah riwayat lain dalam mazhab Maliki. Dari Imam Ahmad juga terdapat beberapa riwayat yang sama dengan pendapat-pendapat di atas. Masing-masing memiliki dalil yang disebutkan panjang lebar dalam buku-buku fikih.
Kaidah yang telah baku dalam masalah khilafiyah menurut syariat adalah:
1. Tidak perlu mengingkari permasalahan yang masih diperselisihkan. Pengingkaran hanya perlu dilakukan pada permasalahan yang telah menjadi kesepakatan para ulama.
2. Orang yang diuji dengan hal ini, hendaklah mengikuti pendapat yang membolehkan.
3. Dianjurkan untuk keluar dari permasalahan khilafiyah.
Tentang pandangan seorang lelaki terhadap perempuan, pendapat yang dijadikan pedoman oleh para ahli fikih adalah ‘boleh melihat wajah dan telapak tangan’. Imam Abu Hanifah menambahkan dengan telapak kaki. Dengan syarat tanpa disertai syahwat serta aman dari fitnah (godaan atau ketertarikan-pen). Hal ini sebagaimana perintah Allah untuk menundukkan pandangan, yang cakupannya berbeda dengan perintah menjaga kemaluan. Allah berfirman,
.قل للمؤمنين يغضوا من أبصارهم ويحفظوا فروجهم
Katakan kepada orang-orang mukmin, wahai Muhammad! Agar mereka menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan mereka.” (an-Nur: 30).
Az-Zamakhsyari dalam tafsir Al-Kassyaf mengomentari mengenai penyebutan huruf ‘min’ pada kalimat (يغضوا من أبصارهم), dan tidak disebutkan pada kalimat (يحفظوا فروجهم):
Hal itu menunjukkan bahwa permasalahan melihat itu lebih longgar. Tidakkah kamu tahu bahwa wanita mahram boleh dilihat rambut, dada, puting, tangan, betis, dan telapak kaki mereka. Begitu juga budak-budak yang siap dijual. Dan perempuan bukan mahram boleh dilihat wajah dan telapak tangan, serta telapak kakinya, dalam salah satu riwayat. Sedangkan permasalahan (menjaga) kemaluan itu lebih ketat. Anda tentu dapat membedakan antara kebolehan melihat sesuatu melainkan bagian yang dikecualikan, dengan larangan bersenggama melainkan kepada obyek yang dikecualikan.”
Selain wajah, telapak tangan, dan telapak kaki perempuan yang bukan mahram tidak boleh dilihat kecuali dalam kondisi terpaksa, atau untuk mengobati dan semisalnya. Wallahu A’lam.

(Sumber: Majalah Al-Azhar, edisi April 2012/ Jumada Al-Ula 1433)
dimuat di : Moslem info dan Ath-Thohiriyyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar