Jumat, 31 Januari 2014

Terjemah Al-Quran dan Hukumnya

Oleh : Ahmad Musyaffa
  1. Pendahuluan
Sebelum masuk ke dalam pembahasan mengenai terjemah al Quran, seperti disebutkan oleh Dr. Muhammad Abdul ‘adzim Az Zarqany, ada beberapa hal yang perlu penulis sampaikan supaya kita bisa lebih tahu mengenai pentingnya pembahasan ini. Hal-hal tersebut diantaranya ;
  1. Ketidak jelasan makna kata terjamah sehingga menjadikan ulama baik qadim maupun hadits berbeda pendapat dalam memberikan pengertian dan memutusi hukumnya.
  2. Sudah banyak sekali beredar karya-karya yang menurut masing-masing pengarangnya merupakan hasil dari alih bahasa atau terjemah al Quran ke dalam bahasa lain. Karya-karya tersebut sebagian dikarang oleh orang-orang yang secara terang-terangan memusuhi Islam dan ada yang dikarang oleh para pecinta Islam namun belum begitu paham mengenai Islam itu sendiri.
  3. Terdapat banyak kesalahan-kesalahan fatal dalam karya-karya yang dianggap sebagai terjemah tersebut sehingga memberikan dampak negative terhadap pemahaman dan perkembangan Islam sendiri.1
Termasuk kewajiban kita menyampaikan pesan-pesan al Quran, dan diantara sarana untuk menyampaikannya adalah melalui terjemah, dengan demikian perlu kita kaji kembali pembahasan mengenai terjemah al Quran berdasarkan pemahaman yang benar dan tanpa ada ta’asshub ataupun tujuan-tujuan pribadi.
  1. Arti Kata Terjemah
  1. Arti lughawy


Kata terjemah diambil dari bahasa Arab at-tarjamah. Dalam bahasa Arab kata ini menunjukkan empat arti, diantaranya :
  1. Menyampaikan kalam kepada orang yang belum mendapati kalam tersebut.
  2. Menafsirkan kalam dengan bahasa kalam itu sendiri, dari pengertian ini Imam Ibnu Abbas disebut sebagai Tarjuman Al Quran.
  3. Menafsirkan kalam dengan bahasa lain, bukan dengan bahasa kalam tersebut.
  4. Mengalih bahasakan kalam dari satu bahasa ke bahasa yang lain.
Keempat arti tersebut menunjukkan makna bayan (menjelaskan), maka dari itu kata terjemah bisa diperluas penggunaannya dalam setiap kalimat yang menunjukkan bayan (penjelasan). Sehingga biografi seseorang pun dalam bahasa Arab bisa dikatakan terjemah karena biografi menjelaskan kehidupan seseorang.2
  1. Arti urfy3
Masih lanjutan dari keterangan yang dituliskan oleh Az Zarqany, yang dimaksud urf disini adalah urf ‘aam, bukan urf golongan tertentu. Menurut kebanyakan orang, kata terjemah dipahami dengan arti mengalih bahasakan suatu kalimat dari bahasa asli (sumber) ke bahasa yang lain (sasaran) dengan menyesuaikan semua makna dan maksudnya, seakan penerjemah memindah kalimat dari bahasa pertama ke bahasa yang kedua.
Dari arti urfy ini terjemah bisa dibagi menjadi dua macam, yaitu :
  1. Terjemah harfiyyah, adalah terjemah yang sangat menjaga kesesuaian urutan dan susunannya dengan teks yang asli, atau dengan kata lain hanya mengganti dengan persamaan katanya tanpa merubah urutan dan susunannya.
  2. Terjemah tafsiriyyah, adalah terjemah yang tidak menjaga kesesuaian susunannya , namun bisa menyajikan makna-makna dan tujuan teks yang asli dengan sebaik dan sesempurna mungkin. 4


Pemaknaan terjemah seperti diatas sangat jeli sekali, tidak seperti yang dituliskan oleh Dr. M. Husain az Zahaby diikuti oleh Dr. Manna’ al Qatthan dan Dr. Nuruddin ‘Itr yang hanya mengkategorikan terjemah kedalam dua kategori, yaitu terjemah harfiyyah dan tafsiriyyah, dan menghendaki terjemah tafsiriyyah dengan tafsir itu sendiri atau terjemah terhadap tafsir (tarjamatut tafsir).
Mungkin contoh di bawah ini bisa lebih menjelaskan perbedaan antara terjemah harfiyyah dan tafsiriyyah tersebut :
ولا تجعل يدك مغلولة إلى عنقك ولا تبسطها كل البسط فتقعد ملوما محسورا 5
Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu ke lehermu (kikir), dan jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya (secara berlebih-lebihan), karena itu menjadikanmu duduk (tidak dapat berbuat apa-apa lagi) tercela (oleh dirimu sendiri atau orang lain) dan (menyesal) tidak memiliki kemampuan (karena telah kehabisan harta).”
Ketika seseorang hendak menerjemah ayat di atas dengan terjemah harfiyyah maka dia akan katakakan,“ janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu ke lehermu dan jangan pula kamu terlalu mengulurkannya.....”
Terjemahan seperti ini tentunya jauh dari maksud ayat tersebut yang sebenarnya dan bahkan orang yang mendengar pun akan merasa aneh dengan terjemahan tersebut.
Berbeda ketika seseorang hendak menerjemah dengan terjemah tafsiriyyah maka dia akan menjelaskan bahwa ayat tersebut melarang untuk berlaku kikir dan boros yang disebutkan dalam ayat dengan bentuk perumpamaan.6 Dalam terjemah tafsiriyyah seperti ini tidak diharuskan menjaga kesesuaian susunan dan urutan bahasa sumber dan bahasa terjemahan. Namun tetap harus bisa menyampaikan semua makna dan tujuan teks aslinya.
  1. Perbedaan terjemah dengan tafsir
Banyak penulis yang menyangka bahwa terjemah tafsiriyyah merupakan sebuah tafsir dalam bahasa lain (sasaran) atau terjemah dari tafsir dalam bahasa asli (sumber), seperti disebutkan oleh Muhammad Husain az Zahaby, Manna’ al Qatthan dan Nururddin ‘Itr.7 Dalam hal ini Az Zarqany8 menyebutkan perbedaan antara keduanya yang nantinya tentu akan memberikan kesimpulan hukum yang berbeda pula dari kesimpulan yang dikeluarkan oleh pendapat yang pertama. Perbedaan tersebut diantaranya adalah:
  1. Terjemah merupakan bentuk tersendiri, dengan arti sebuah terjemahan harus benar-benar bisa menggantikan kedudukan teks asli. Berbeda dengan tafsir yang selamanya tak dapat terlepas dari teks asli, semisal dengan dengan mencantumkan teks aslinya kemudian memberikan penjelasan terhadap kalimat tersebut.
  2. Dalam terjemah tidak diperbolehkan memberikan penjelasan tambahan yang tidak tercantum di dalam teks asli, akan tetapi hal ini sangat dianjurkan didalam tafsir bahkan terkadang bisa menjadi wajib. Hal ini disebabkan karena penerjemah membawa amanah dari teks asli sehingga harus benar-benar disesuaikan antara teks asli dan terjemahannya, sampai ketika dalam teks asli terdapat kesalahan, begitu pun dalam terjemah.
  3. Secara umum kata terjemah selalu memberikan pemahaman bahwa terjemahan mencakup semua makna dan maksud dari teks asli, berbeda dengan tafsir yang kepentingannya adalah menjelaskan apa yang dikandung teks asli bisa dengan penjelasan yang global ataupun terperinci.


  1. Makna dan Maqashid al Quran
Setelah kita mengetahui berbagai arti dari kata terjemah dalam bahasa Arab, dan sebelum kita mengetahui bagaimana hukum daripada menerjemah al Quran sesuai masing-masing makna terjemah yang bermacam-macam tersebut, alangkah baiknya terlebih dahulu kita ketahui makna-makna yang terkandung di dalam kalimat-kalimat al Quran, sehingga kita bisa mengetahui sebatas mana al Quran bisa diterjemahkan.
Al Quran dan juga semua kalimat dalam bahasa Arab yang mengandung unsur sastra yang tinggi masing-masing mempunyai dua makna, yaitu makna primer dan makna sekunder.
  1. Makna primer (awwaliy/ashliy), adalah makna yang bisa dipahami langsung melalui zahir lafal. Pemahaman terhadap makna ini akan sama bagi setiap orang yang paham terhadap lafal tersebut.
  2. Makna sekunder (tsanawiy/tabi') yang berupa kekhasan suatu rangkaian kalimat sehingga bisa menunjukkan ketinggian sastranya, dan dari inilah al Quran berlaku sebagai mukjizat.9 Atau dengan kata lain yaitu makna kedua dan seterusnya di balik makna asli.
Kemudian mengenai maqashid (tujuan-tujuan) diturunkannya al Quran bisa dikelompokkan dalam tiga tujuan pokok;
  1. Hidayat al Quran (al Quran sebagai petunjuk manusia dan jin).
  2. I’jaz al Quran (al Quran sebagai saksi diutusnya nabi Muhammad saw.)
  3. At-ta’abbud bi tilawatil Quran (membaca al Quran dianggap sebagai ibadah, baik pembaca memahami artinya ataupun tidak).10


  1. Hukum Menerjemah al Quran
Dari uraian yang telah disebutkan bisa kita simpulkan bahwa kata terjemah al Quran mempunyai empat arti, tiga arti berasal dari pemahaman arti lughawy, sedangkan arti yang ke empat berasal dari arti lughawy dan juga urfy.
Di bawah ini penulis akan sebutkan berbagai hukum menerjemah al Quran secara terperinci sebagaimana di sebutkan oleh syaikh Az Zarqany.
  1. Terjemah al Quran dengan arti menyampaikan ayat-ayat al Quran.
Secara bahasa terjemah al Quran bisa diartikan dengan tablighu alfadzihi (menyampaikan lafal-lafalnya). Ketika terjemah al Quran diartikan seperti ini, tentu secara syariat hukumnya boleh, bahkan bisa sunnah ataupun wajib. Hal ini bisa dibuktikan dengan melihat sejarah bahwa Rasulullah saw. menyampaikan dan mengajarkan al Quran kepada sahabat-sahabatnya, kemudian turun menurun sampai saat ini.
  1. Terjemah al Quran dengan arti menafsirkannya dengan bahasa arab.
Ini adalah arti kedua dari kata terjemah dalam bahasa arab, yaitu menafsirkan al Quran dengan bahasa al Quran sendiri, yakni bahasa Arab dan bukan dengan bahasa lain. Hal ini tak bisa dipungkiri lagi kebolehannya. Terbukti Rasulullh saw. diutus adalah untuk menjelaskan maksud daripada al Quran, bahkan hadits dianggap sebagai syarih (penjelasan) al Quran berdasarkan pada,




وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم ....11
Dan Kami turunkan kepadamu (nabi Muhammad saw.) adz-dzikr (al Quran) supaya engkau menerengkan kepada manusia apa (al Quran) yang telah diturunkan kepada mereka….”.
  1. Terjemah al Quran dengan arti menafsirkannya dengan bahasa lain.
Arti ketiga dari kata terjemah al Quran dalam bahasa arab adalah menafsirkan dengan selain bahasa Arab. Menurut syaikh az Zarqany, tak ada bedanya antara menafsirkan al Quran dengan bahasa ‘ajam (selain Arab) bagi orang yang kurang baik dalam berbahasa Arab, dengan menafsirkan al Quran dengan bahasa Arab bagi orang yang baik dalam berbahasa Arab. Keduanya sama-sama menyampaikan apa yang dipahami oleh penafsir dari pemahamannya terhadap al Quran, dengan bahasa yang dipahami oleh pendengar. Menafsirkan bukan berarti menerjemah al Quran itu sendiri, akan tetapi menyampaikan apa yang bisa dipahami dari makna-makna dan maqashid al Quran, bukan menyampaikan semua makna dan maqashid al Quran. Hal ini akan lebih jelas jika kita mengetahui perbedaan antara terjemah tafsiriyyah dengan tafsir seperti penjelasan yang lalu.
  1. Terjemah al Quran dengan arti mengalihbahasakan al Quran ke dalam bahasa lain.
Arti ini adalah arti yang dipahami dari makna kata terjemah secara ‘urfy. Berdasarkan makna tersebut, terjemah al Quran adalah mengungkapakn makna-makna dari kalimat-kalimat al Quran yang berbahasa arab, serta maqashidnya (hidayah, I’jaz, at-ta’abbhud bitilawatih) dengan tanpa mengurangi sedikit pun dari makna-makna dan maqashid tersebut.
Kemudian ketika terjemahan tersebut disesuaikan susunan dan urutan dengan apa yang ada dalam al Quran disebut sebagai terjemah harfiyyah/lafdziyyah, dan ketika tidak harus sesuai disebut dengan terjemah tafsiriyyah.
Menurut syaikh az-Zarqany12, terjemah dengan arti seperti ini menurut hukum ‘adiy13tidak mungkin adanya dan secara syar’iy, haram untuk mencoba membuatnya.
Tidak mungkin secara hukum ‘adiy bisa dibuktikan dengan dua dalil, pertama, tak ada seorang pun yang bisa menyampaikan semua makna al Quran baik makna primer maupun sekunder dan juga maqashid-nya.
Kedua, terjemah dengan arti seperti ini sama dengan membuat tandingan al Quran, hal ini sangat tidak mungkin terjadi karena itu adalah kemukjizatan al Quran.
Kemudian secara hukum syar’iy tidak diperbolehkan karena beberapa hal diantaranya,
pertama, menuntut sesuatu yang mustahil menurut hukum ‘adiy, tidak diperbolehkan dengan cara apapun bahkan dengan berdoa sekalipun.
Kedua, mencoba menerjemah al Quran dengan arti seperti ini, sama dengan berusaha mewujudkan al Quran baru atau tandingan al Quran, hal ini bisa berarti mendustakan firman Allah swt. :
قل لئن اجتمعت الإنس والجن على أن يأتوا بمثل هذا القرأن لا يأتون بمثله ولو كان بعضهم لبعض ظهيرا14
Katakanlah (kepada mereka yang meragukan al Quran) : “Demi (Allah), jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.”
Ketiga, terjemah seperti ini bisa mendorong manusia untuk berpaling dari al Quran dan mencukupkan dengan terjemahannya.
Keempat, semua ulama melarang riwayat al Quran bil makna15, terjemah seperti ini sama dengan meriwayatkan al Quran bil makna.
Kesimpulan hukum yang diberikan oleh az Zarqany menyatakan ketidak bolehan terjemah terhadap al Quran, baik secara harfiyyah maupun tafsiriyyah seperti dipahami dari keterangan di atas. Hal ini seakan berbeda dengan dengan kesimpulan yang diberikan oleh az Zahaby dan pengikutnya. Memang semua sepakat kalau terjemah harfiyyah terhadap al Quran adalah suatu hal yang mustahil dilakukan, akan tetapi seperti keterangan yang lalu pendapat az Zahaby menyamakan terjemah tafsiriyyah adalah tafsir itu sendiri namun hanya disajikan dengan bahasa lain, sehingga kesimpulannya pun mengatakan terjemah tafsiriyyah diperbolehkan. Bahkan –setelah menjelaskan maksud dari terjemah tafsiriyyah secara panjang lebar dalam bukunya- secara jelas az Zahaby mengatakan, sangat mudah bagi semua orang untuk menyatakan kebolehan terjemah tafsiriyyah tanpa ada lagi rasa ragu atau bimbang.16
Dalam hal ini penulis melihat adanya titik kesamaan dari dua pendapat tersebut. Ketika yang dimaksudkan dari terjemah adalah tafsir terhadap al Quran maka keduanya sepakat menyatakan boleh. Letak perbedaannya, dalam hal ini az Zahaby mengkategorikannya termasuk dalam terjemah tafsiriyyah, sedangkan az Zarqany lebih berhati-hati dengan tidak mengatakan sebagai terjemah tafsiriyyah, walaupun secara bahasa (lughawy) tafsir dengan bahasa lain (‘ajam) bisa dikatakan sebagai terjemah.
  1. Penutup
Dari berbagai hal yang telah diuraikan, paling tidak kita bisa mengetahui apa saja yang bisa disebut sebagai terjemah. Kemudian terjemah seperti apa yang bisa diterapkan terhadap al Quran, dan juga kita bisa lebih berhati-hati dalam menggunakan kata terjemah karena ternyata terdapat perbedaan antara pemahaman kata terjemah dari segi bahasa (lughawiy) dengan pemahaman kebanyakan orang (urf ‘aam).
Demikian sedikit tulisan yang jauh dari sempurna. Meski belum bisa menyampaikan semua hal yang termasuk dalam pembahasan ini, namun setidaknya bisa memberikan pokok-pokok bahasannya.
Sekian dan terima kasih.
Kairo, 10 November 2012








Daftar Pustaka


Ahmad Ibn Muhammad ad Dardir, Syarh al Kharidah al Bahiyyah, Dar al Bashair, Kairo, 2010.
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al Munawwir, Pustaka progressif, Surabaya, 1997.
Imam al Mahally, Syarh al Waraqat, Obekan, Riyadh, 2006.
M. Abdul Adzim Az Zarqany , Manahilull Irfan, Dar as Salam, Kairo, 2010.
M. Husain az Zahaby, At- Tafsir wal Mufassirun, Kairo, Maktabah Wahbah, 2000.
M. Quraish Shihab, Al Quran dan Maknanya, Lentera Hati, Tangerang, 2010.
Manna al Qatthan, Mabahits fi Ulum Al Quran, Maktabah Wahbah, Kairo, 2007.
Nuruddin Itr, Ulumul Quran al Karim, Dar al Bashair, Kairo, 2012.
1 M. Abdul Adzim az Zarqany, Manahilul Irfan, (Kairo, Dar al Salam, 2010), hal. 461
2 M. Abdul Adzim az Zarqany, Manahilul Irfan, (Kairo, Dar al Salam, 2010), hal. 462
3 Pengertian suatu kata bisa didasarkan pada tiga hal, pertama,segi bahasa (lughawy) pengertian suatu kata berdasarkan penggunaan awal kata tersebut oleh pengucap bahasa. Kedua, segi syari’at (syar’iy) pengertian suatu kata berdasarkan penggunaannya dalam syariat Islam. Ketiga, segi ‘urf, dibagi menjadi dua, ‘urf ‘aam, yaitu pengertian suatu kata berdasarkan penggunaan orang secara umum, dan‘urf khas, pengertian kata berdasarkan penggunaan golongan tertentu, seperti kata fa’il adalah isim yang dibaca rafa’ menurut ulama nahwu.
4 M. Abdul Adzim az Zarqany, Manahilul Irfan, (Kairo, Dar al Salam, 2010), hal. 463-464
5 QS.al Isra 17: 29
6 Nuruddin Itr, Ulumul Quran al Karim,(Kairo, Dar al Bashair, 2012), hal. 117
7 Lihat At- Tafsir wal Mufassirun, Kairo, Maktabah Wahbah, hal. 22 vol. 1, Mabahits fi Ulum al Quran, Kairo¸Maktabah Wahbah, 2007, hal.310, dan Ulumul Quran al karim, Kairo, Dar al Bashair, 2010, hal. 118
8 M. Abdul Adzim az Zarqany, hal. 467-468.
9 Manna al Qatthan, hal. 307
10 M. Abdul Adzim az Zarqany,hal. 474-478
11 QS. an Nahl 16: 44
12 M. Abdul Adzim az Zarqany, hal. 490-497
13 Hukum atau menetapkan sesuatu pada sesuatu yang lain, dapat dikategorikan dalam tiga macam, pertama, syar’iy adalah khitab Allah swt. Yang berhubungan dengan pekerjaan hamba-Nya baik berupa thalab (tuntutan), ibahah (kebolehan), atau wadh’. Kedua, ‘adiy adalah menghukumi sesuatau dengan dasar kejadian yang berulang-ulang, seperti menghukumi bahwa api bisa membakar.Ketiga, ‘aqly adalah menghukumi sesuatu tidak berdasar pada kejadian yang berulang-ulang ataupun pada syariat.
14 QS. Al Isra 17: 88
15 Riwayat bil makna adalah riwayat yang hanya menekankan pada makna yang dikandung pada kalimat yang diriwayatkan, berbeda dengan riwayat bil lafdzi yang harus menekankan susunan lafadz yang diriwayatkan.

16 Dr. M. Husain az Zahaby, At- Tafsir wal Mufassirun, Kairo, Maktabah Wahbah, Hal. 22 Vol. 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar