Oleh : Ahmad Musyaffa
- Pendahuluan
Sebelum masuk ke dalam pembahasan
mengenai terjemah al Quran, seperti disebutkan oleh Dr.
Muhammad Abdul ‘adzim Az Zarqany,
ada beberapa hal yang perlu penulis
sampaikan supaya kita bisa
lebih tahu mengenai pentingnya
pembahasan ini. Hal-hal
tersebut diantaranya ;
- Ketidak jelasan makna kata terjamah sehingga menjadikan ulama baik qadim maupun hadits berbeda pendapat dalam memberikan pengertian dan memutusi hukumnya.
- Sudah banyak sekali beredar karya-karya yang menurut masing-masing pengarangnya merupakan hasil dari alih bahasa atau terjemah al Quran ke dalam bahasa lain. Karya-karya tersebut sebagian dikarang oleh orang-orang yang secara terang-terangan memusuhi Islam dan ada yang dikarang oleh para pecinta Islam namun belum begitu paham mengenai Islam itu sendiri.
- Terdapat banyak kesalahan-kesalahan fatal dalam karya-karya yang dianggap sebagai terjemah tersebut sehingga memberikan dampak negative terhadap pemahaman dan perkembangan Islam sendiri.1
Termasuk kewajiban kita menyampaikan
pesan-pesan al Quran, dan diantara sarana untuk menyampaikannya
adalah melalui terjemah, dengan demikian perlu kita kaji kembali
pembahasan mengenai terjemah al Quran berdasarkan pemahaman yang
benar dan tanpa ada ta’asshub
ataupun tujuan-tujuan pribadi.
- Arti Kata Terjemah
- Arti lughawy
Kata terjemah diambil dari bahasa
Arab at-tarjamah.
Dalam bahasa Arab kata ini menunjukkan empat arti, diantaranya :
- Menyampaikan kalam kepada orang yang belum mendapati kalam tersebut.
- Menafsirkan kalam dengan bahasa kalam itu sendiri, dari pengertian ini Imam Ibnu Abbas disebut sebagai Tarjuman Al Quran.
- Menafsirkan kalam dengan bahasa lain, bukan dengan bahasa kalam tersebut.
- Mengalih bahasakan kalam dari satu bahasa ke bahasa yang lain.
Keempat arti tersebut menunjukkan
makna bayan
(menjelaskan), maka dari itu kata terjemah bisa diperluas
penggunaannya dalam setiap kalimat yang menunjukkan bayan
(penjelasan).
Sehingga biografi seseorang pun dalam bahasa Arab bisa dikatakan
terjemah karena biografi menjelaskan kehidupan seseorang.2
- Arti urfy3
Masih lanjutan dari keterangan yang
dituliskan oleh Az Zarqany, yang dimaksud urf
disini adalah urf
‘aam, bukan urf
golongan tertentu. Menurut kebanyakan orang, kata terjemah dipahami
dengan arti mengalih
bahasakan suatu kalimat dari bahasa asli (sumber) ke bahasa yang lain
(sasaran) dengan menyesuaikan semua makna dan maksudnya, seakan
penerjemah memindah kalimat dari bahasa pertama ke bahasa yang kedua.
Dari arti urfy
ini terjemah bisa dibagi menjadi dua macam, yaitu :
- Terjemah harfiyyah, adalah terjemah yang sangat menjaga kesesuaian urutan dan susunannya dengan teks yang asli, atau dengan kata lain hanya mengganti dengan persamaan katanya tanpa merubah urutan dan susunannya.
- Terjemah tafsiriyyah, adalah terjemah yang tidak menjaga kesesuaian susunannya , namun bisa menyajikan makna-makna dan tujuan teks yang asli dengan sebaik dan sesempurna mungkin. 4
Pemaknaan terjemah seperti diatas
sangat jeli sekali, tidak seperti yang dituliskan oleh Dr. M. Husain
az Zahaby diikuti oleh Dr. Manna’ al Qatthan dan Dr. Nuruddin ‘Itr
yang hanya mengkategorikan terjemah kedalam dua kategori, yaitu
terjemah harfiyyah dan tafsiriyyah, dan menghendaki terjemah
tafsiriyyah dengan tafsir itu sendiri atau terjemah terhadap tafsir
(tarjamatut tafsir).
Mungkin
contoh di bawah ini bisa lebih menjelaskan perbedaan antara terjemah
harfiyyah
dan tafsiriyyah
tersebut :
ولا
تجعل يدك مغلولة إلى عنقك ولا تبسطها كل
البسط فتقعد ملوما محسورا
5
“Dan janganlah engkau jadikan
tanganmu terbelenggu ke lehermu (kikir), dan jangan (pula) engkau
terlalu mengulurkannya (secara berlebih-lebihan), karena itu
menjadikanmu duduk (tidak dapat berbuat apa-apa lagi) tercela (oleh
dirimu sendiri atau orang lain) dan (menyesal) tidak memiliki
kemampuan (karena telah kehabisan harta).”
Ketika seseorang hendak menerjemah
ayat di atas dengan terjemah harfiyyah
maka dia akan katakakan,“ janganlah kamu jadikan tanganmu
terbelenggu ke lehermu dan jangan pula kamu terlalu
mengulurkannya.....”
Terjemahan seperti ini tentunya jauh
dari maksud ayat tersebut yang sebenarnya dan bahkan orang yang
mendengar pun akan merasa aneh dengan terjemahan tersebut.
Berbeda ketika seseorang hendak
menerjemah dengan terjemah tafsiriyyah
maka dia akan menjelaskan bahwa ayat tersebut melarang untuk berlaku
kikir dan boros yang disebutkan dalam ayat dengan bentuk
perumpamaan.6
Dalam terjemah tafsiriyyah seperti ini tidak diharuskan menjaga
kesesuaian susunan dan urutan bahasa sumber dan bahasa terjemahan.
Namun tetap harus bisa menyampaikan semua
makna dan tujuan teks aslinya.
- Perbedaan terjemah dengan tafsir
Banyak penulis yang menyangka bahwa
terjemah tafsiriyyah merupakan sebuah tafsir dalam bahasa lain
(sasaran) atau terjemah dari tafsir dalam bahasa asli (sumber),
seperti disebutkan oleh Muhammad Husain az Zahaby, Manna’ al
Qatthan dan Nururddin ‘Itr.7
Dalam hal ini Az Zarqany8
menyebutkan perbedaan antara keduanya yang nantinya tentu akan
memberikan kesimpulan hukum yang berbeda pula dari kesimpulan yang
dikeluarkan oleh pendapat yang pertama. Perbedaan tersebut
diantaranya adalah:
- Terjemah merupakan bentuk tersendiri, dengan arti sebuah terjemahan harus benar-benar bisa menggantikan kedudukan teks asli. Berbeda dengan tafsir yang selamanya tak dapat terlepas dari teks asli, semisal dengan dengan mencantumkan teks aslinya kemudian memberikan penjelasan terhadap kalimat tersebut.
- Dalam terjemah tidak diperbolehkan memberikan penjelasan tambahan yang tidak tercantum di dalam teks asli, akan tetapi hal ini sangat dianjurkan didalam tafsir bahkan terkadang bisa menjadi wajib. Hal ini disebabkan karena penerjemah membawa amanah dari teks asli sehingga harus benar-benar disesuaikan antara teks asli dan terjemahannya, sampai ketika dalam teks asli terdapat kesalahan, begitu pun dalam terjemah.
- Secara umum kata terjemah selalu memberikan pemahaman bahwa terjemahan mencakup semua makna dan maksud dari teks asli, berbeda dengan tafsir yang kepentingannya adalah menjelaskan apa yang dikandung teks asli bisa dengan penjelasan yang global ataupun terperinci.
- Makna dan Maqashid al Quran
Setelah kita mengetahui berbagai arti
dari kata terjemah dalam bahasa Arab, dan sebelum kita mengetahui
bagaimana hukum daripada menerjemah al Quran sesuai masing-masing
makna terjemah yang bermacam-macam tersebut, alangkah baiknya
terlebih dahulu kita ketahui makna-makna yang terkandung di dalam
kalimat-kalimat al Quran, sehingga kita bisa mengetahui sebatas mana
al Quran bisa diterjemahkan.
Al Quran dan juga semua kalimat dalam
bahasa Arab yang mengandung unsur sastra yang tinggi masing-masing
mempunyai dua makna, yaitu makna primer dan makna sekunder.
- Makna primer (awwaliy/ashliy), adalah makna yang bisa dipahami langsung melalui zahir lafal. Pemahaman terhadap makna ini akan sama bagi setiap orang yang paham terhadap lafal tersebut.
- Makna sekunder (tsanawiy/tabi') yang berupa kekhasan suatu rangkaian kalimat sehingga bisa menunjukkan ketinggian sastranya, dan dari inilah al Quran berlaku sebagai mukjizat.9 Atau dengan kata lain yaitu makna kedua dan seterusnya di balik makna asli.
Kemudian mengenai maqashid
(tujuan-tujuan) diturunkannya al Quran bisa dikelompokkan dalam tiga
tujuan pokok;
- Hidayat al Quran (al Quran sebagai petunjuk manusia dan jin).
- I’jaz al Quran (al Quran sebagai saksi diutusnya nabi Muhammad saw.)
- At-ta’abbud bi tilawatil Quran (membaca al Quran dianggap sebagai ibadah, baik pembaca memahami artinya ataupun tidak).10
- Hukum Menerjemah al Quran
Dari uraian yang telah disebutkan
bisa kita simpulkan bahwa kata terjemah al Quran mempunyai empat
arti, tiga arti berasal dari pemahaman arti lughawy,
sedangkan arti yang ke empat berasal dari arti lughawy
dan juga urfy.
Di bawah ini penulis akan sebutkan
berbagai hukum menerjemah al Quran secara terperinci sebagaimana di
sebutkan oleh syaikh Az Zarqany.
- Terjemah al Quran dengan arti menyampaikan ayat-ayat al Quran.
Secara bahasa terjemah al Quran bisa
diartikan dengan tablighu
alfadzihi
(menyampaikan lafal-lafalnya). Ketika terjemah al Quran diartikan
seperti ini, tentu secara syariat hukumnya boleh, bahkan bisa sunnah
ataupun wajib. Hal ini bisa dibuktikan dengan melihat sejarah bahwa
Rasulullah saw. menyampaikan dan mengajarkan al Quran kepada
sahabat-sahabatnya, kemudian turun menurun sampai saat ini.
- Terjemah al Quran dengan arti menafsirkannya dengan bahasa arab.
Ini adalah arti kedua dari kata
terjemah dalam bahasa arab, yaitu menafsirkan al Quran dengan bahasa
al Quran sendiri, yakni bahasa Arab dan bukan dengan bahasa lain. Hal
ini tak bisa dipungkiri lagi kebolehannya. Terbukti Rasulullh saw.
diutus adalah untuk menjelaskan maksud daripada al Quran, bahkan
hadits dianggap sebagai syarih
(penjelasan) al Quran berdasarkan pada,
وأنزلنا
إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم
....11
“Dan Kami turunkan kepadamu (nabi
Muhammad saw.) adz-dzikr (al Quran) supaya engkau menerengkan kepada
manusia apa (al Quran) yang telah diturunkan kepada mereka….”.
- Terjemah al Quran dengan arti menafsirkannya dengan bahasa lain.
Arti ketiga dari kata terjemah al
Quran dalam bahasa arab adalah menafsirkan dengan selain bahasa Arab.
Menurut syaikh az Zarqany, tak ada bedanya antara menafsirkan al
Quran dengan bahasa ‘ajam
(selain Arab) bagi orang yang kurang baik dalam berbahasa Arab,
dengan menafsirkan al Quran dengan bahasa Arab bagi orang yang baik
dalam berbahasa Arab. Keduanya sama-sama menyampaikan apa yang
dipahami oleh penafsir dari pemahamannya terhadap al Quran, dengan
bahasa yang dipahami oleh pendengar. Menafsirkan bukan berarti
menerjemah al Quran itu sendiri, akan tetapi menyampaikan apa yang
bisa dipahami dari makna-makna dan maqashid
al Quran, bukan
menyampaikan semua makna dan maqashid
al Quran. Hal ini
akan lebih jelas jika kita mengetahui perbedaan antara terjemah
tafsiriyyah
dengan tafsir seperti penjelasan yang lalu.
- Terjemah al Quran dengan arti mengalihbahasakan al Quran ke dalam bahasa lain.
Arti ini adalah arti yang dipahami
dari makna kata terjemah secara ‘urfy.
Berdasarkan makna tersebut, terjemah al Quran adalah mengungkapakn
makna-makna dari kalimat-kalimat al Quran yang berbahasa arab, serta
maqashidnya
(hidayah, I’jaz,
at-ta’abbhud bitilawatih)
dengan tanpa mengurangi sedikit pun dari makna-makna dan maqashid
tersebut.
Kemudian ketika terjemahan tersebut
disesuaikan susunan dan urutan dengan apa yang ada dalam al Quran
disebut sebagai terjemah harfiyyah/lafdziyyah,
dan ketika tidak harus sesuai disebut dengan terjemah tafsiriyyah.
Menurut syaikh az-Zarqany12,
terjemah dengan arti seperti ini menurut hukum ‘adiy13tidak
mungkin adanya dan secara syar’iy,
haram untuk
mencoba membuatnya.
Tidak mungkin secara
hukum ‘adiy
bisa dibuktikan
dengan dua dalil, pertama,
tak ada seorang pun yang bisa menyampaikan semua makna al Quran baik
makna primer maupun sekunder dan juga maqashid-nya.
Kedua,
terjemah dengan arti seperti ini sama dengan membuat tandingan al
Quran, hal ini sangat tidak mungkin terjadi karena itu adalah
kemukjizatan al Quran.
Kemudian secara
hukum syar’iy
tidak diperbolehkan karena beberapa hal diantaranya,
pertama,
menuntut sesuatu yang mustahil menurut hukum ‘adiy,
tidak diperbolehkan dengan cara apapun bahkan dengan berdoa
sekalipun.
Kedua,
mencoba menerjemah al Quran dengan arti seperti ini, sama dengan
berusaha mewujudkan al Quran baru atau tandingan al Quran, hal ini
bisa berarti mendustakan firman Allah swt. :
قل
لئن اجتمعت الإنس والجن على أن يأتوا بمثل
هذا القرأن لا يأتون بمثله ولو كان بعضهم
لبعض ظهيرا14
“ Katakanlah (kepada mereka yang meragukan al Quran) :
“Demi (Allah), jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang
serupa al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang
serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi
sebagian yang lain.”
Ketiga,
terjemah seperti ini bisa mendorong manusia untuk berpaling dari al
Quran dan mencukupkan dengan terjemahannya.
Keempat,
semua ulama melarang riwayat al Quran bil
makna15,
terjemah seperti ini sama dengan meriwayatkan al Quran bil
makna.
Kesimpulan hukum yang diberikan oleh az Zarqany
menyatakan ketidak bolehan terjemah terhadap al Quran, baik secara
harfiyyah maupun
tafsiriyyah seperti
dipahami dari keterangan di atas. Hal ini seakan berbeda dengan
dengan kesimpulan yang diberikan oleh az Zahaby dan pengikutnya.
Memang semua sepakat kalau terjemah harfiyyah
terhadap al Quran adalah suatu hal yang mustahil dilakukan, akan
tetapi seperti keterangan yang lalu pendapat az Zahaby menyamakan
terjemah tafsiriyyah
adalah tafsir itu sendiri namun hanya disajikan dengan bahasa lain,
sehingga kesimpulannya pun mengatakan terjemah tafsiriyyah
diperbolehkan. Bahkan –setelah menjelaskan maksud dari terjemah
tafsiriyyah secara
panjang lebar dalam bukunya- secara jelas az Zahaby mengatakan,
sangat mudah bagi semua orang untuk menyatakan kebolehan terjemah
tafsiriyyah tanpa ada
lagi rasa ragu atau bimbang.16
Dalam hal ini penulis melihat adanya titik kesamaan dari
dua pendapat tersebut. Ketika yang dimaksudkan dari terjemah adalah
tafsir terhadap al Quran maka keduanya sepakat menyatakan boleh.
Letak perbedaannya, dalam hal ini az Zahaby mengkategorikannya
termasuk dalam terjemah tafsiriyyah, sedangkan
az Zarqany lebih berhati-hati dengan tidak mengatakan sebagai
terjemah tafsiriyyah, walaupun
secara bahasa (lughawy) tafsir
dengan bahasa lain (‘ajam)
bisa dikatakan sebagai terjemah.
- Penutup
Dari berbagai hal yang telah
diuraikan, paling tidak kita bisa mengetahui apa saja yang bisa
disebut sebagai terjemah. Kemudian terjemah seperti apa yang bisa
diterapkan terhadap al Quran, dan juga kita bisa lebih berhati-hati
dalam menggunakan kata terjemah karena ternyata terdapat perbedaan
antara pemahaman kata terjemah dari segi bahasa (lughawiy)
dengan pemahaman kebanyakan orang (urf
‘aam).
Demikian sedikit tulisan yang jauh
dari sempurna. Meski belum bisa menyampaikan semua hal yang termasuk
dalam pembahasan ini, namun setidaknya bisa memberikan pokok-pokok
bahasannya.
Sekian dan terima kasih.
Kairo, 10 November 2012
Daftar Pustaka
Ahmad Ibn Muhammad ad Dardir, Syarh
al Kharidah al Bahiyyah,
Dar al Bashair, Kairo, 2010.
Ahmad Warson Munawwir, Kamus
al Munawwir,
Pustaka progressif, Surabaya, 1997.
Imam al Mahally, Syarh
al Waraqat, Obekan,
Riyadh, 2006.
M. Abdul Adzim Az Zarqany ,
Manahilull Irfan,
Dar as Salam, Kairo, 2010.
M. Husain az Zahaby,
At- Tafsir wal Mufassirun,
Kairo, Maktabah Wahbah, 2000.
M. Quraish Shihab, Al
Quran dan Maknanya,
Lentera Hati, Tangerang, 2010.
Manna al Qatthan, Mabahits
fi Ulum Al Quran,
Maktabah Wahbah, Kairo, 2007.
Nuruddin Itr, Ulumul
Quran al Karim, Dar
al Bashair, Kairo, 2012.
1
M. Abdul Adzim az Zarqany, Manahilul
Irfan, (Kairo, Dar al Salam, 2010),
hal. 461
2
M. Abdul Adzim az Zarqany, Manahilul
Irfan, (Kairo, Dar al Salam, 2010),
hal. 462
3
Pengertian suatu kata bisa didasarkan pada tiga hal, pertama,segi
bahasa (lughawy) pengertian suatu kata berdasarkan penggunaan
awal kata tersebut oleh pengucap bahasa. Kedua, segi syari’at
(syar’iy) pengertian suatu kata berdasarkan penggunaannya
dalam syariat Islam. Ketiga, segi ‘urf, dibagi
menjadi dua, ‘urf ‘aam, yaitu pengertian suatu kata
berdasarkan penggunaan orang secara umum, dan‘urf khas,
pengertian kata berdasarkan penggunaan golongan tertentu, seperti
kata fa’il adalah isim yang dibaca rafa’ menurut
ulama nahwu.
4
M. Abdul Adzim az Zarqany, Manahilul
Irfan, (Kairo, Dar al Salam, 2010),
hal. 463-464
5
QS.al Isra 17:
29
6 Nuruddin
Itr, Ulumul
Quran al Karim,(Kairo,
Dar al Bashair, 2012), hal. 117
7 Lihat
At- Tafsir wal Mufassirun, Kairo, Maktabah Wahbah, hal. 22
vol. 1, Mabahits fi Ulum al Quran, Kairo¸Maktabah Wahbah,
2007, hal.310, dan Ulumul Quran al karim, Kairo, Dar al
Bashair, 2010, hal. 118
8 M.
Abdul Adzim az Zarqany, hal. 467-468.
9 Manna
al Qatthan, hal. 307
10
M. Abdul Adzim az Zarqany,hal. 474-478
11 QS.
an Nahl 16: 44
12 M.
Abdul Adzim az Zarqany, hal. 490-497
13 Hukum
atau menetapkan sesuatu pada sesuatu yang lain, dapat dikategorikan
dalam tiga macam, pertama, syar’iy adalah khitab
Allah swt. Yang berhubungan dengan pekerjaan hamba-Nya baik berupa
thalab (tuntutan), ibahah (kebolehan), atau wadh’.
Kedua, ‘adiy adalah menghukumi sesuatau dengan dasar
kejadian yang berulang-ulang, seperti menghukumi bahwa api bisa
membakar.Ketiga, ‘aqly adalah menghukumi sesuatu tidak
berdasar pada kejadian yang berulang-ulang ataupun pada syariat.
14
QS. Al Isra 17: 88
15 Riwayat
bil makna adalah
riwayat yang hanya menekankan pada makna yang dikandung pada kalimat
yang diriwayatkan, berbeda dengan riwayat bil
lafdzi yang harus menekankan susunan
lafadz yang diriwayatkan.
16
Dr. M. Husain az Zahaby,
At- Tafsir wal Mufassirun, Kairo, Maktabah
Wahbah, Hal. 22 Vol. 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar